Daya Juang Anak

Daya Juang Anak

“Anak saya memang gak kuat anaknya. Gak bisa belajar lama-lama, kepalanya bisa pusing. Tapi kalau main game dia tahan lho bisa sampai 4 jam gak cape-cape. Tahan lho dia. ” 

“Anak saya memang pelupa makanya perlu mbaknya yang siapin semuanya. Kalau mbak-nya gak siapin pasti ada yang ketinggalan. Kasian nanti dihukum guru kalau bukunya ada yang ketinggalan.”

Kita mungkin pernah mendengar orang tua mengucapkan kalimat seperti di atas. Bahkan orang tua acapkali mengucapkannya dengan nada yang mengandung ‘kebanggaan’ seakan-akan perilaku tersebut merupakan ‘keunikan’ pribadi anaknya, bersifat bawaan lahir, alamiah dan tidak bisa diubah. Orang tua kemudian tidak melakukan apa-apa untuk mengatasinya. 

Orang tua baru mengalami kebingungan ketika anak sudah besar. “Saya heran sama anak saya. Maunya yang gampang-gampang aja! Susah sedikit mengeluh. Kok gak ada daya juangnya”.  Orang tua mulai melihat anaknya kurang mau berusaha, mudah menyerah ketika menemui kesulitan atau cenderung memilih semua hal yang mudah sebagai jalan keluar. Bahkan saat SMU, ia menyatakan “jurusan apa aja boleh, yang penting gampang”

Daya juang anak bukanlah sesuatu yang bersifat bawaan lahir. Tidak ada anak yang secara otomatis lahir dengan daya juang tinggi atau daya juang lemah. Daya juang dibentuk oleh pola pengasuhan dan pengalaman hidup anak. Dibutuhkan usaha dan proses yang panjang serta berkelanjutan untuk membentuk daya juang anak. Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam membentuk daya juang anak, yaitu:

  1. Mintalah anak melakukan sendiri hal-hal yang sudah dapat ia lakukan dan merupakan bagian dari tanggung jawabnya.
    Contoh: tanggung jawab anak sebagai pelajar maka ia harus mengatur sendiri semua hal yang berkaitan dengan sekolahnya. Mis: membereskan buku pelajaran, membawa perlengkapan sekolah yang dibutuhkan, dll.  Jika memiliki pembantu rumah tangga, orang tua perlu membuat aturan bahwa tugas pembantu hanyalah untuk menolong melakukan sesuatu yang benar-benar tidak bisa dilakukan oleh anak.
  2. Jangan terburu-buru (terlalu cepat) memberi pertolongan pada anak. Berikan waktu kepada anak untuk menyelesaikan masalahnya sendiri.
    Contoh: ketika ia bertengkar dengan kakak/adiknya, doronglah anak mencari solusi sendiri atas konflik yang terjadi.
  3. Haruskan anak untuk menyelesaikan hingga tuntas semua hal yang ia mulai, apa pun kesulitan yang dihadapi.  

“Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak. Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak.  Dimanakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya? Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang.”(Ibrani 12:6-8)

 

Monica, M.Psi., Psi.

Related News

Kunjungan Re-Akreditasi ACSI-WASC ke IPEKA INTEGRATED Christian School

Dalam upaya berkelanjutan untuk mempertahankan standar pendidikan yang tinggi, IPEKA Integrated Christian School (IICS) baru-baru…

Menerapkan Strategi Good Cop-Bad Cop dalam Parenting

Dalam perjalanan membesarkan anak, orang tua sering kali mencari strategi yang efektif untuk mendidik dan…

Kunci Sukses Membangun Generasi Unggul bersama IPEKA

Dalam perjalanan mendidik anak menjadi individu yang sukses, percaya diri, dan penuh empati, seringkali kita…

Di Balik Lampion Merah: Menguak Keajaiban Perayaan Tahun Baru Imlek

Menyambut datangnya Tahun Baru Imlek, komunitas Tionghoa di seluruh dunia bersiap untuk merayakan momen yang…