Kisah Sebuah Pohon Apel dan Anak
Mengapa anak sulit membangun relasi dengan orangtua?
Berikut kisah untuk semua orang yang pernah menyebut dirinya sebagai anak
***
Ada seorang anak laki-laki yang senang bermain di bawah pohon apel besar setiap hari. Anak itu sangat mencintai pohon apel itu. Demikian pula pohon apel sangat mencintai anak kecil itu.
Ia senang memanjatnya hingga ke pucuk pohon, memakan buahnya, lalu tidur-tiduran di keteduhan rindang dedaunannya. Waktu terus bergulir. Anak itu kini telah bertumbuh besar dan tak lagi bermain di bawah pohon apel itu setiap hari.
Suatu ketika, ia mendatangi pohon apel itu. Wajahnya tampak sedih. "Ayo ke sini, bermain-main lagi denganku," pinta pohon apel.
"Aku bukan anak kecil yang bermain-main dengan pohon lagi," jawab anak itu. "Aku ingin punya mainan, tapi aku tak punya uang untuk membelinya."
Pohon apel itu menyahut, "Maaf aku tak punya uang... tapi kamu boleh mengambil semua buah apelku dan menjualnya. Lalu, kamu bisa dapat uang untuk membeli semua mainan kesukaanmu."
Suatu hari, anak itu datang lagi. Pohon apel girang melihatnya datang. "Ayo, bermain-main lagi denganku," kata pohon apel.
"Aku tak punya waktu," jawab anak lelaki yang sudah dewasa itu. "Aku harus bekerja untuk keluargaku. Kami butuh rumah untuk tempat tinggal. Bisakah kau menolongku?"
"Maaf! aku pun tak punya rumah. Tapi kamu boleh menebang semua dahan rantingku untuk membangun rumahmu koq," kata pohon apel.
Setelah itu, anak lelaki itu lama tak kembali lagi. Pohon apel merasa kesepian, sedih.
Pada suatu musim panas, anak lelaki itu menampakkan batang hidungnya lagi. Pohon apel bersukacita menyambutnya. "Ayo bermain denganku lagi," kata pohon apel yang sudah jarang berbuah, dan kekurangan dahan.
"Aku sedih" kata anak lelaki yang kini telah menua. "Aku sudah tua dan ingin hidup tenang. Aku ingin pergi berlibur dan berlayar saja. Maukah kau memberiku sebuah kapal untuk berpesiar?"
"Maaf! aku tak punya kapal, tapi kau boleh memotong batang tubuhku dan menggunakannya untuk membuat kapal yang kau mau. Pergilah berlayar dan bersenang-senanglah"
Ia lalu pergi berlayar dan lama lagi tak kunjung menemui pohon apel.
Setelah bertahun-tahun, anak lelaki tadi datang lagi.
"Maaf," kata pohon apel itu. "Aku sudah tak memiliki buah apel lagi untukmu!"
"Tak apa. Aku pun sudah tak memiliki gigi untuk mengigit buah apelmu," jawab anak lelaki.
"Aku juga tak punya batang dan dahan yang bisa kaupanjat," kata pohon apel.
"Sekarang aku sudah terlalu tua untuk itu," jawab anak.
"Aku tak punya apa-apa lagi yang bisa aku berikan padamu. Yang tersisa hanyalah akar-akarku yang sudah tua ini dan sekarat" kata pohon apel sambil menitikkan air mata.
"Aku tak memerlukan apa-apa lagi sekarang," kata anak lelaki. "Aku hanya membutuhkan tempat untuk beristirahat, berteduh. Aku sangat lelah setelah sekian lama meninggalkanmu"
"Oh, bagus sekali kalau begitu. Tahukah kau, akar-akar pohon tua adalah tempat terbaik untuk berbaring dan beristirahat. Marilah berbaring di pelukan akar-akarku dan beristirahatlah dengan tenang."
Anak lelaki yang kini berusia senja itu berbaring di pelukan akar-akar pohon. Pohon apel sangat gembira dan tersenyum sambil meneteskan air mata bahagianya.
***
Cerita di atas menggambarkan bentuk umum relasi antara orangtua dan anak. Pohon apel merupakan analogi dari keberadaan orangtua bagi anaknya. Orangtua digambarkan sebagai pihak yang selalu terbuka untuk didatangi oleh sang anak, bersedia memberi, berkurban untuk anaknya.
Sedangkan, sang anak digambarkan sebagai seseorang yang hanya datang pada orangtua ketika memerlukan sesuatu. Anak lelaki digambarkan sebagai seseorang yang meninggalkan orangtua ketika kebutuhannya sudah terpenuhi, lalu kembali ketika memiliki kebutuhan lain yang harus dipenuhi.
Pola relasi seperti dalam cerita di atas sebenarnya umum terjadi dalam relasi orangtua dan anak. Proses pengasuhan dan perawatan orangtua terhadap anak yang berlangsung bertahun-tahun berperan membentuk pola relasi ini.
Secara alamiah, orangtua terbiasa berperan sebagai pemberi, sementara secara natur, anak lebih terbiasa memposisikan diri sebagai penerima. Sebagai pihak pemberi, orangtua terbiasa menjadi pihak yang berperan aktif melakukan segala sesuatu apabila hal itu berkaitan dengan sang anak, termasuk aktif menjalin relasi.
Pada umumnya, orangtualah yang akan secara aktif berusaha mendekati anaknya, menanyakan perkembangan kehidupan anaknya, dan menawarkan bantuan bila diperlukan. Sebaliknya, sebagai pihak penerima, anak terbiasa menganggap orangtuanya sebagai sumber pemenuhan kebutuhannya, dan anak pasif ketika berelasi dengan orangtua. Umumnya, anak tidak secara alamiah terdorong untuk aktif, mengambil inisiatif mendekati untuk membina relasi dengan orangtuanya.
Dengan demikian, pada dasarnya seorang anak cenderung tak secara alamiah atau bukan otomatis punya keinginan, dorongan untuk mau mendekatkan diri dan membina relasi dengan orangtuanya. Anak punya kecenderungan lebih berfokus mengatur, mengurus hidup serta kepentingannya sendiri dibandingkan menaruh perhatian terhadap kebutuhan atau kepentingan orangtuanya. Anak juga lebih mudah bersikap melupakan orangtuanya apalagi kalau tinggal di lokasi yang berjauhan.
Dorongan, keinginan untuk membina relasi dengan orangtua pada umumnya baru muncul pada diri anak ketika ia memasuki awal masa dewasa. Namun, itu kerap didasari oleh motivasi yang meskipun tidak sepenuhnya salah, namun kurang benar kurang tepat, seperti:
Rasa kewajiban: memberi perhatian dan menunjukkan kepedulian merupakan hal yang seharusnya dilakukan
Rasa utang budi: anak harus membalas kebaikan orangtua
Rasa takut penilaian buruk dari orang-orang sekitar: tidak mau dianggap sebagai anak yang tidak baik atau durhaka
Motivasi-motivasi seperti di atas kurang tepat karena berpusat pada diri sendiri. Dari luar, tindakan yang dilakukan seakan-akan tampak sebagai suatu usaha untuk membina relasi dengan orangtuanya, namun sebenarnya hanya untuk kepentingan diri sendiri.
Ketika seseorang melakukan sesuatu untuk membina relasi dengan orangtuanya, namun terlandasi rasa kewajiban, keharusan, atau perasaan utang budi, bukan murni atau tulus memberi atau melakukannya, maka tindakan-tindakan itu ditujukan untuk meredakan rasa bersalah dalam diri sebagai anak.
Ketika seseorang melakukan sesuatu untuk orangtua karena dilandasi perasaan takut dinilai buruk oleh orang-orang sekitar, maka itu dilakukan untuk melindungi harga dirinya sebagai anak serta menghindari penolakan dari orang lain.
Motivasi yang benar untuk membina relasi dengan orangtua hendaknya dialasi dengan motivasi yang benar, yaitu kasih kepada Tuhan dan kasih kepada orangtua.
1. Kasih kepada Tuhan sebagai dasar ketaatan pada perintah Tuhan untuk mengasihi orangtua
Beberapa bagian firman Tuhan dengan gamblang menyatakan bagaimana cara anak harus berelasi dengan orangtuanya. Dikatakan dalam firman Tuhan:
Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan Tuhan, Allahmu kepadamu (Keluaran 20:12). {Honor your father and your mother, so that you may live long in the land the Lord your God is giving you (Exodus 20:12).}
Setiap orang di antara kamu haruslah menyegani ibunya dan ayahnya dan memelihara hari-hari sabat-Ku; Akulah TUHAN, Allahmu (Imamat 19:3). {Each of you must respect your mother and father, and you must observe my Sabbaths. I am the Lord your God (Leviticus 19:3).}
Firman Tuhan di atas menyatakan suatu perintah untuk anak agar menghormati dan menyegani orangtuanya. Perintah ini mengandung suatu arti semua tindakan baik, dukungan materi, rasa hormat, dan ketaatan kepada orangtua (lih. Juga Efesus 6:1-3; Kolose 3:20). Perintah ini mencegah kata-kata kasar dan tindakan yang mencederakan hati orangtua. Dalam Keluaran 21:15, 17, Allah bahkan menuntut hukuman mati bagi setiap orang yang memukul atau mengutuk orangtuanya. Ini menunjukkan, Allah mementingkan penghormatan kepada orangtua.
Meskipun Alkitab mengungkapkan adanya penghukuman bagi setiap orang yang memukul atau mengutuk orangtuanya, namun hendaknya hal ini bukan menjadi dasar ketaatan buta kita. Ketaatan kepada firman Tuhan pun hendaknya didasari oleh kasih kepada-Nya, ya kasih kepada-Nya, yang kemudian menumbuhkan keinginan untuk tunduk pada perintah-Nya Tuhan dan menumbuhkan rasa kasih kepada orangtua.
2. Kasih kepada orangtua mendasari kerinduan anak membina relasi dengan orangtua
Selain kasih kepada Tuhan, dorongan atau keinginan untuk membina relasi dengan orangtua hendaknya berjangkarkan pada rasa kasih kepada orangtua. Karena kita mengasihi mereka, maka kita mau dekat dengan mereka. Maka kita mau mengenal mereka. Maka kita mau memberi perhatian dan menunjukkan kepedulian. Bukan tergerak oleh rasa bersalah atau untuk memperoleh nama baik yang melindungi harga diri kita secara semu.
Disebutkan sebelumnya bahwa bukan suatu yang alamiah seorang anak ingin membangun relasi dengan orangtua. Perlu komitmen secara sadar dan usaha yang sengaja untuk dapat membina relasinya dengan orangtua.
Di bawah ini beberapa tips praktis agar anak mendekatkan diri pada orangtuanya supaya relasi yang ada bisa bertambah dekat secara emosional:
Apa hobi orangtua? Kenali. Temani bila sedang melakukan hobinya
Bercakap-cakaplah dengan mereka. Ajak bercakap-cakap hal-hal yang menjadi minat mereka
Mintai pendapat kepada mereka tentang suatu hal, peristiwa, kegiatan, dan lain-lain. Orangtua akan merasa dilibatkan dan dihargai
Belanja bersama orangtua, olahraga, dan lain-lain yang dapat mendekatkan relasi antara kita dengan orangtua
oleh Monica, M.Psi., Psi.
Sumber referensi:
http://www.michaelyamin.net/?ct=1&id=1311754458